Oleh: Ajie Lingga, S.H., CGAP – Praktisi Hukum dan Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan

Sponsor: ACNTimes
Iklan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara adalah bentuk penyimpangan administratif yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam perspektif hukum tata negara, keputusan menteri yang menabrak ketentuan undang-undang bukan hanya mencederai asas hierarki norma, tetapi juga secara nyata merusak marwah otonomi khusus yang telah diberikan kepada Aceh secara konstitusional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) merupakan lex specialis yang mengikat secara nasional dan lahir dari proses politik dan hukum yang berlandaskan perdamaian. Maka, setiap kebijakan administratif yang bertentangan dengan isi dan semangat UU PA harus dianggap sebagai keputusan yang cacat hukum.

Dalam hal ini, jelas Kepmendagri tersebut bertentangan secara substansial dengan beberapa ketentuan pokok dalam UU PA, khususnya Pasal 3 yang menetapkan batas-batas geografis wilayah Aceh, serta Pasal 4 ayat (2) dan (3) yang mensyaratkan adanya partisipasi dan persetujuan Pemerintah Aceh serta DPRA dalam setiap pembentukan atau perubahan kawasan khusus dan batas wilayah. Tidak ada satu pun norma dalam UU PA yang memberi ruang kepada pemerintah pusat untuk secara sepihak menetapkan wilayah Aceh tanpa proses konsultatif dan deliberatif. Oleh karena itu, Keputusan Mendagri ini tidak hanya menyimpang dari prosedur formal, tetapi juga mengandung cacat materiil karena mengesampingkan kewenangan dan hak konstitusional Pemerintah Aceh dalam pengaturan wilayah administratifnya sendiri.

Meski secara yuridis keputusan menteri tidak serta-merta batal demi hukum, melainkan tetap berlaku sebelum ada pembatalan resmi, namun hal ini justru mempertegas pentingnya langkah hukum yang harus diambil oleh Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, maupun masyarakat sipil Aceh. Gugatan terhadap Keputusan Menteri ini sangat mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan menjadi jalur konstitusional yang sah untuk menegakkan supremasi hukum. Di samping itu, surat keberatan administratif dapat diajukan kepada Presiden sebagai bentuk protes resmi terhadap pelanggaran prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Jika dibiarkan, maka keputusan administratif semacam ini dapat membuka ruang preseden buruk bagi intervensi pusat terhadap wilayah lain di Aceh secara sepihak di masa depan.

Penetapan ini juga mengaburkan integritas data dan legitimasi batas wilayah yang selama ini dijaga berdasarkan semangat damai antara RI dan Aceh pasca-MoU Helsinki. Artinya, Kepmendagri ini bukan hanya soal empat pulau kecil, melainkan soal pelanggaran terhadap komitmen nasional terhadap Aceh, termasuk pelanggaran terhadap penghormatan atas status Aceh sebagai daerah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam kerangka NKRI. Dalam sistem hukum yang menjunjung asas lex superior derogat legi inferiori, jelas bahwa Undang-Undang harus mengesampingkan keputusan administratif yang lebih rendah derajatnya. Maka, satu-satunya cara untuk mengoreksi pelanggaran ini adalah dengan menggunakan jalur hukum terbuka melalui PTUN, dan mendorong evaluasi kelembagaan atas proses penetapan wilayah oleh Kemendagri.

Sponsor: ACNTimes
Iklan

Maka sebagai praktisi hukum, saya menyatakan bahwa keputusan Menteri Dalam Negeri ini tidak hanya lemah secara hukum, tetapi berbahaya secara konstitusional. Tidak ada cara lain yang lebih bermartabat bagi Pemerintah Aceh selain menggugatnya dan menolak tunduk pada keputusan yang mengabaikan hak legal Aceh. Kepmendagri ini harus dibatalkan demi keadilan, supremasi hukum, dan demi menjaga martabat politik Aceh sebagai wilayah yang diakui kekhususannya oleh negara.

Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp