Oleh: Syahira Alfatunisa (Siswi Kelas 11 SMAN 2 Patra Nusa, Aceh Tamiang)
Sukaria gelak tawa anak-anak lewat permainan congklak di sore hari sempat menjadi saksi betapa permainan tradisional dulu begitu akrab dengan anak-anak.
Tak pelak, cepat atau lambat manusia akan mengalami perubahan gaya hidup baik secara individu maupun skala sosial.
Natasya Al Bihar, Siswi kelas 11 Sekolah Menengah Atas Negeri Dua (SMAN2) Patra Nusa Kabupaten Aceh Tamiang, memutar otak untuk mengikuti lomba seni kriya diajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FL2SN) tingkat kabupaten tahun 2023 silam.
Di tengah pergeseran zaman, Natasya ingin membuktikan bahwa masa kecil yang sederhana bisa menjadi inspirasi untuk merawat warisan budaya lewat tangan kreatifnya.
Berangkat dari keresahan itu, Natasya mengubah rupa batang pohon bambu menjadi permainan Congklak.
Sebagai adik kelas, penulis ingin cerita ini dibaca oleh khalayak ramai, apakah lewat berita online maupun media sosial.
Mulanya, berbekal informasi dari Bu Suri Nurul Aida, guru pembinanya. Natasya mendaftarkan diri sebagai peserta lomba FL2SN tingkat Kabupaten.
Dari banyak ide, Natasya memilih membuat congklak berbentuk kapal. Meski sempat bingung dengan istilah Dakon yang diucapkan Bu Suri, sebutan congklak di Jawa, Natasya semakin mantap dengan idenya.
Bukan tanpa sebab, saat kanak-kanak, Natasya sudah terbiasa memanfaatkan bahan-bahan di sekitar rumahnya untuk berkreasi. Mengubah sampah jadi barang bernilai. Hal itu menunjukkan betapa ia memiliki minat besar pada seni kerajinan tangan.
“Bu saya sudah tau mau buat apa” ucap Natasya.
“Oiya? Mau buat apa emangnya?” tanya Bu Suri penasaran.
Meski tampak ragu untuk mengutarakan idenya, Natasya berusaha tenang dan yakin.
“Umm… saya mau buat congklak berbentuk kapal Bu,” jelas Natasya.
Bu Suri menoleh ke arahnya “Oh, Dakon
ya? Boleh-boleh,” ujar Bu Suri
Tetapi Natasya heran, apa tadi? dakon? Apa itu Dakon? Saat Natasya merasa asing dengan istilah itu.
“Gausah bingung gitu Natasya, Dakon itu congklak kok. Dulu ibu tinggal lama di Jawa jadi ibu lebih sering bilangnya Dakon,” timpal Bu Suri.
Obrolan tak terhenti disitu, ide kerajinan pembuatan congkak dari bambu membuat Bu Suri jadi penasaran.
“Oh ya, Natasya diantara banyaknya permainan tradisional yang ada, kenapa harus congklak?” tanya Bu Suri.
Natasya menjelaskan “Karena saya suka bermain congklak Bu. Anak-anak bisa belajar berhitung, melatih fokus, dan belajar jujur lewat permainan ini sekaligus ingin melestarikannya ,” ujarnya mantap.
Penjelasannya itupun mendapat persetujuan dari Bu Suri.
“Bagus Ibu setuju, jadi nanti saat pulang kamu bisa langsung mencari bahan-bahannya ya,” ucapnya.
Tekadnya semakin bulat setelah mendengar tanggapan Bu Suri.
Dirumah, ia langsung mencari bambu, batok kelapa, dan perlengkapan lain. Teriknya siang tak menghalangi semangatnya.
Dalam beberapa hari, bahan-bahan sederhana itu berubah di tangannya menjadi congklak berbentuk kapal yang bisa dilipat berkat engsel di bagian tengahnya.
Natasya tak lupa, kalau Bu Suri kerap mengingatkan “Saat lomba nanti, kamu buatnya hati-hati, apalagi saat memotong bambu,” pesan Bu Suri.
Persiapan pun terus dilakukan hingga malam sebelum lomba. Pagi hari, Natasya berangkat ke lokasi lomba dengan perasaan campur aduk antara gugup dan berdoa.
Ketika lomba dimulai, Natasya memotong bambu, mengecat alas kapal, hingga berburu batu kecil untuk biji congklak. Semua dilakukan dengan teliti.
Sore pun tiba. Waktu pengumuman pemenang menjadi detik paling mendebarkan bagi Natasya. Rasa tidak yakin berubah menjadi bahagia ketika namanya disebut sebagai juara kedua lomba seni kriya FL2SN tingkat kabupaten.
“Lalu untuk juara kedua, jatuh kepada… Natasya Al Bihar.” ujar Panitia Lomba.
Tangan yang gemetar dibalik senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Piala di tangan, bangga di hati karya sederhana congklak kapal menjadi bukti bahwa ide kreatif bisa melestarikan permainan tradisional yang hampir punah.
Dari kisah inspiratif Natasya tadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, hobi bukan hanya sekedar kesukaan yang dapat menyenangkan hati tetapi juga bisa membawa kita pada banyak pengalaman dan sebuah pelestarian budaya.
Pelestarian budaya di era modern seperti
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui platform-platform media sosial. Seperti membuat video-video cara bermain permainan tradisional dengan penjelasan yang menarik. Ataupun membuat aplikasi yang berisikan berbagai permainan tradisional yang dapat diakses semua kalangan.
Kita harus menjadi generasi muda yang kreatif agar budaya-budaya tradisional Nusantara tidak mudah punah. Meski kita terkadang dianggap remeh dan kuno oleh lingkungan sekitar kita, namun itu bukanlah sebuah masalah.
Seharusnya yang menjadi masalah ialah jika budaya turun temurun itu punah dari peradaban. Dan jika bukan kita siapa lagi yang bisa melestarikan budaya-budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, ayo para generasi muda bangga akan budaya Nusantara.
Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan