Oleh: Aji Lingga, S.H., CGAP (Advokat & Praktisi Hukum)

Sponsor: ACNTimes
Iklan

Pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap laporan keuangan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah di berbagai tingkatan tentu layak diapresiasi sebagai indikator kepatuhan terhadap standar akuntansi dan penyusunan laporan yang tertib secara administratif. Namun, sebagai seorang praktisi hukum, saya perlu menegaskan bahwa opini WTP tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai jaminan bahwa entitas yang diperiksa telah bebas dari praktik kecurangan (fraud) maupun penyalahgunaan wewenang.

Makna Yuridis Opini WTP
Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini BPK disusun berdasarkan empat kriteria, yakni:

1. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
2. Kecukupan pengungkapan informasi keuangan;
3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan
4. Efektivitas sistem pengendalian intern.

Namun opini WTP lebih merefleksikan penilaian atas aspek penyajian laporan keuangan yang “wajar” secara normatif, bukan penilaian menyeluruh terhadap substansi etika pengelolaan keuangan ataupun indikasi korupsi. Dengan kata lain, opini WTP adalah produk dari metodologi akuntansi, bukan instrumen untuk menyatakan nihilnya potensi pelanggaran hukum.

Sponsor: ACNTimes
Iklan

WTP dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Sebagai perbandingan, Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa setiap tindakan pejabat administrasi publik harus memenuhi asas AUPB, seperti asas keterbukaan, akuntabilitas, dan proporsionalitas. Maka, meskipun laporan keuangan dinilai wajar oleh auditor, bukan berarti praktik yang melatarbelakangi anggaran tersebut telah bebas dari nepotisme, kolusi, atau penyimpangan prosedural.

Catatan BPK Harus Ditindaklanjuti Secara Hukum
Sering kali opini WTP masih menyertakan temuan atau catatan tentang lemahnya sistem pengendalian internal atau kepatuhan terhadap regulasi. Bahkan, dalam banyak kasus, temuan BPK justru menjadi petunjuk awal bagi aparat penegak hukum (APH) untuk menelusuri dugaan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang menyebutkan bahwa BPK dapat menyampaikan temuan kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Transparansi Tak Berarti Tanpa Akuntabilitas
Pencapaian WTP oleh Pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah memang layak diapresiasi sebagai hasil dari kerja administratif. Namun publik jangan terjebak dalam euforia seremonial. Transparansi adalah langkah awal, tetapi akuntabilitas substansial-lah yang menjadi indikator utama integritas tata kelola. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat sipil dan penegak keadilan, kita perlu mendorong agar laporan keuangan yang telah “wajar” itu ditindaklanjuti dengan audit kinerja yang lebih mendalam dan terbuka untuk pengawasan publik.

Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp