Oleh: Ridzwan, SH., MH – Advokat & Praktisi Hukum
Pendahuluan
Permasalahan narkotika di Indonesia tidak hanya menyentuh aspek hukum pidana, tetapi juga menjadi persoalan kemanusiaan dan kesehatan publik. Dalam praktik penegakan hukum, penyalahguna narkotika kerap kali diposisikan secara tunggal sebagai pelaku tindak pidana, tanpa mempertimbangkan status mereka sebagai korban penyalahgunaan zat adiktif. Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan landasan normatif bahwa penyalahguna seyogianya diarahkan pada rehabilitasi, bukan semata-mata pemidanaan.
Penyalahguna adalah Korban, Bukan Penjahat
Pasal 54 UU Narkotika dengan tegas menyatakan bahwa penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Hal ini mengindikasikan adanya pendekatan dekriminalisasi terbatas bagi penyalahguna, yang tidak ditujukan untuk dipenjarakan, melainkan untuk disembuhkan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegak hukum masih dominan menerapkan pendekatan represif dengan menjebloskan penyalahguna ke lembaga pemasyarakatan.
Padahal, berdasarkan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika, penyalahguna narkotika dapat dijatuhi hukuman penjara atau menjalani rehabilitasi. Sayangnya, frasa “dapat” sering kali ditafsirkan secara sempit, dan opsi rehabilitasi jarang diprioritaskan kecuali ada upaya dari keluarga, kuasa hukum, atau rekomendasi BNN.
Problematika Penegakan Hukum
Terdapat beberapa persoalan krusial dalam penerapan hukum terhadap penyalahguna:
Kurangnya Penilaian Asesmen Terpadu:
Banyak kasus penyalahguna diproses hingga ke pengadilan tanpa melalui asesmen medis dan psikologis oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT). Hal ini menyebabkan penyalahguna langsung dikualifikasikan sebagai pelaku pidana tanpa ditelusuri apakah ia pengguna aktif, ketergantungan, atau hanya coba-coba.
Overkriminalisasi:
Penegakan hukum yang menempatkan penyalahguna dalam sistem pidana turut menyumbang pada overkapasitas lapas. Padahal, lapas bukan tempat yang tepat untuk memulihkan kecanduan narkotika. Di sisi lain, pendekatan ini justru memperbesar kemungkinan residivisme.
Stigma Sosial dan Diskriminasi:
Pidana penjara tidak hanya memutus kebebasan fisik, tetapi juga membawa stigma yang menghambat reintegrasi sosial. Ini menguatkan siklus penyalahgunaan, bukan menyembuhkannya.
Rehabilitasi sebagai Kewajiban Negara
Konstitusi Indonesia menempatkan hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia. Oleh karena itu, penanganan penyalahguna narkotika dengan pendekatan kesehatan adalah cermin dari kehadiran negara dalam memanusiakan warganya.
UU Narkotika bahkan memberikan mekanisme agar rehabilitasi dijadikan bagian dari sistem hukum, bukan hanya alternatif. Hakim dapat memutus rehabilitasi berdasarkan hasil asesmen dan fakta persidangan. Sayangnya, hal ini belum menjadi praktik umum di seluruh yurisdiksi.
Rekomendasi Reformasi Penegakan Hukum
Optimalisasi Peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) di setiap proses penyidikan agar penanganan kasus penyalahguna tidak serta merta masuk ke jalur pidana.
Pendidikan Hukum bagi Penegak Hukum untuk meningkatkan pemahaman bahwa rehabilitasi adalah perintah undang-undang, bukan pilihan belas kasih.
Peningkatan Sarana dan Prasarana Rehabilitasi agar mampu menampung kebutuhan penyalahguna yang membutuhkan pemulihan, bukan hukuman.
Sinkronisasi Kebijakan BNN, Polri, dan Kejaksaan agar memiliki standar yang sama dalam menangani penyalahguna sebagai korban, bukan pelaku kriminal murni.
Penutup
Penyalahgunaan narkotika adalah masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum semata. Negara perlu hadir secara bijak dengan mengedepankan pendekatan restoratif dan rehabilitatif terhadap penyalahguna. Ini bukan hanya sejalan dengan UU Narkotika, tetapi juga mencerminkan keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan