Pada pagi yang berkabut di Salem, Massachusetts, awal tahun 1831, Kapten Charles Mosem Endicott bersiap memulai pelayaran jauh melintasi samudra. Tujuannya bukan Eropa, melainkan sebuah wilayah strategis di ujung Sumatra: Aceh. Ia berlayar membawa kapal dagang Friendship untuk membeli komoditas yang membuat bangsa-bangsa Eropa tergila-gila selama berabad-abad—lada.

Sponsor: ACNTimes
Iklan

Saat itu, Aceh bukan wilayah koloni Hindia Belanda. Ia merupakan kerajaan independen yang memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Kesultanan Ottoman di Turki dan Kerajaan Inggris, sebagaimana dicatat Lee Kam Hing dalam The Sultanate of Aceh (1995). Namun, perairan Aceh terkenal berbahaya. Kapal dagang asing kerap menjadi sasaran bajak laut lokal, apalagi bila mereka membawa muatan berharga.

Tanggal 7 Februari 1831, Friendship berlabuh di pelabuhan Kuala Batu. Endicott dan beberapa awak kapal turun ke darat untuk bernegosiasi dengan pedagang lokal. Di saat bersamaan, kelompok bersenjata menyerbu kapal Friendship, menewaskan tiga awak, menyandera kru lain, dan membawa lari barang dagangan senilai US$50.000.

Beruntung, bantuan dari kapal asing memungkinkan Endicott merebut kembali Friendship, meski dalam kondisi rusak parah. Kapal itu kembali ke Salem pada 20 Juli 1831 dengan kabar mengejutkan. Penyerangan terhadap kapal dagang AS itu segera mengguncang opini publik dan pemerintah Amerika.

Ketika laporan insiden sampai ke Gedung Putih, Presiden Andrew Jackson langsung bereaksi keras. Dalam kapasitasnya sebagai panglima tertinggi, ia memerintahkan Angkatan Laut AS untuk melakukan serangan militer balasan ke Aceh.

Sponsor: ACNTimes
Iklan

USS Potomac, kapal perang andalan AS, berlayar ke Kuala Batu membawa sekitar 300 marinir bersenjata lengkap. Tanpa negosiasi atau peringatan, pada awal 1832, meriam dilepaskan, pelabuhan dibumihanguskan, dan pasukan AS menyerbu darat. Sebanyak 450 warga Aceh dilaporkan tewas, sementara AS hanya kehilangan dua prajurit.

Ini menjadi operasi militer langsung pertama AS di kawasan Asia, bahkan satu-satunya di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia sejak kemerdekaan AS pada 4 Juli 1776.

Namun, catatan sejarah belakangan mengungkap sisi lain dari tragedi ini. Dalam Death on an Empire (2011), Robert Booth menyebut bahwa kemarahan warga Kuala Batu dipicu praktik dagang tidak adil oleh pedagang AS. Pengurangan timbangan dan tindakan manipulatif yang berulang menimbulkan ketidakpercayaan. Ketika Friendship berlabuh, kemarahan yang telah lama tertahan akhirnya meledak.

Serangan ini menandai babak kelam dalam sejarah interaksi dagang internasional di Nusantara. Di balik keberingasan militer, tersimpan pelajaran penting: bahwa keadilan dalam perdagangan adalah kunci perdamaian antar bangsa.

Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp