Oleh: AJIE LINGGA, S.H., CGAP
Advokat dan Praktisi Hukum
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) merupakan salah satu entitas vital dalam penyediaan pelayanan publik, khususnya air bersih, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan PDAM menjadi ujung tombak pemerintah daerah dalam mewujudkan pelayanan dasar yang adil, merata, dan berkelanjutan. Maka dari itu, tata kelola PDAM harus dilandasi oleh prinsip profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas, terutama dalam hal pengangkatan direksi.
Sayangnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang justru terjebak pada praktik transaksional dan kompromi politik dalam menentukan jajaran direksi PDAM. Fenomena ini telah menimbulkan berbagai persoalan serius dalam tata kelola BUMD, mulai dari rendahnya kinerja layanan, pemborosan keuangan, hingga terjeratnya PDAM dalam pusaran konflik kepentingan yang merugikan publik.
Pengangkatan Direksi Bukan Sekadar Formalitas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD secara tegas mengatur bahwa pengangkatan direksi PDAM harus melalui proses seleksi berbasis kompetensi dan Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 tentang Organ dan Kepegawaian Badan Usaha Milik Daerah Air Minum yang bertujuan untuk menciptakan pengelolaan BUMD Air Minum yang lebih profesional dan berdaya unggul. Artinya, seseorang yang akan menduduki jabatan sebagai direktur utama atau direktur operasional harus memiliki rekam jejak profesional yang relevan, pengalaman di bidang manajerial, serta pemahaman teknis terkait sistem penyediaan air bersih.
Menempatkan seseorang tanpa pengalaman di sektor air minum dan manajemen korporasi tidak hanya melanggar semangat good corporate governance, tetapi juga membuka ruang kegagalan strategis dalam pengelolaan perusahaan daerah. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang direksi yang tidak memahami sistem hidrolik, jaringan distribusi, dan regulasi air bersih bisa mengambil keputusan yang tepat untuk pelayanan masyarakat?
Risiko Kerugian Keuangan dan Kepercayaan Publik
Penunjukan direksi tanpa pengalaman dapat berdampak langsung pada keuangan perusahaan. Keputusan-keputusan yang diambil bisa jadi keliru, tidak efisien, dan merugikan. Dalam banyak kasus di berbagai daerah, kita bisa melihat PDAM menjadi beban keuangan daerah karena tidak mampu mencetak keuntungan atau bahkan tidak sanggup membiayai operasional dasarnya sendiri.
Lebih dari itu, masyarakat sebagai pengguna layanan akan kehilangan kepercayaan. Ketika air tidak mengalir lancar, keluhan tidak ditanggapi cepat, dan pelayanan terkesan asal-asalan, maka kepercayaan publik terhadap PDAM bahkan kepada pemerintah daerah secara umum akan luntur.
Pentingnya Uji Kepatutan dan Kelayakan yang Transparan
Proses seleksi direksi PDAM harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan berdasarkan meritokrasi. Uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) bukan hanya formalitas administratif, tetapi harus dijadikan mekanisme penyaringan yang ketat dan objektif. Selain itu, melibatkan unsur pengawasan independen dari akademisi, praktisi, hingga auditor internal sangat penting guna memastikan bahwa jabatan direksi tidak dijadikan “bancakan politik.”
Penutup: Jangan Berjudi dengan Pelayanan Publik
Mengangkat direksi PDAM tanpa pengalaman ibarat berjudi dengan nasib pelayanan publik. Pemerintah daerah seharusnya menjauhkan kepentingan politik dari urusan teknis yang berdampak langsung pada masyarakat. Profesionalisme harus menjadi panglima dalam tubuh BUMD, termasuk PDAM. Bila tidak, maka masyarakatlah yang akan menanggung akibatnya: air tidak mengalir, tarif tak masuk akal, dan pelayanan yang kian memburuk.
Sudah saatnya kita sadar bahwa jabatan direksi bukan tempat “belajar” bagi yang tidak berpengalaman, melainkan ruang kerja strategis bagi mereka yang sudah siap bekerja untuk rakyat.
Simak berita dan artikel lainnya melalui saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan